Wacana dalam prakteknya berhubungan dengan disiplin
ilmu lain. Wacana juga berhubungan dengan praktek sosial, budaya, kekuasaan,
politik, dan ideology, sehingga muncul pertanyaan mengenai bagaimana hubungan
wacana dangan hal-hal tersebut. Dalam hal ini akan dibahas mengenai 1) wacana sebagai
praktek sosial, 2) wacana dan kekuasaan, 3) wacana, kebersamaan dan ideology,
dan 4) Wacana dan Praktek Budaya.
1)
Wacana sebagai
praktek sosial
Wacana sebagai praktik sosial yakni bahwa suatu wacana
yang mengandung unsur saling mempengaruhi antara wacana dan sosial. Dalam analisis
wacana dan praktek sosial, tidak hanya memandang wacana sebagai fenomena teks
bahasa semata akan tetapi juga menghubungkannya dengan konteks, baik itu
konteks sosial, kultural, ideologi dan domain-domain kekuasaan yang menggunakan
bahasa sebagai alatnya, dalam hal ini dikenal dengan sebutan Analisis Wacana
Kritis atau Critical Discourse Analysis.
Istilah Critical Discourse Analysis atau
Analisis Wacana Kritis pertama kali digunakan oleh Fairclough dengen definisi sebuah
upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks
(realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok
dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa
yang diinginkan.
Prinsip-prinsip AWK menurut Fairclough dan Wodak
(1997: 271-280) yakni; Membahas masalah-masalah sosial, Mengungkap bahwa
relasi-relasi kekuasaan adalah diskursif, mengungkap budaya dan masyarakat,
bersifat ideologi, bersifat historis, mengemukakan hubungan antara teks dan
masyarakat dan bersifat interpretatif dan eksplanatori.
2)
Wacana dan
kekuasaan
Dalam hal wacana dan kekuasan, bahasa
sebagai alat kekuasaan biasanya berbentuk persuasif yakni kekuasaan itu berupa
tindakan untuk mempengaruhi seseorang dalam hal kepercayaan, sikap dan
pengetahuan. Kekuasaan
dalam wacana dapat dibedakan menjadi dua yakni kekuasaan di dalam wacana dan
kekuasaan di balik wacana. Kekuasaan di dalam wacana terdiri dari 3 jenis yakni
kekuasaan wacana dalam percakapan langsung, kekuasaan wacana dalam lintas
budaya dan kekuasaan yang tersembunyi dalam wacana, sedangkan kekuasaan di balik wacana dipengaruhi oleh
situasi, konteks dan waktu.
Menurut Fairclough (1989) ada 3 hal yang mempengaruhi
suatu wacana disampaikan yakni setting (tempat dan waktu), subjek (siapa yang
berbicara), dan topik (isi dari apa yang disampaikan). Pisau yang digunakan
untuk membedah wacana dan kekuasan bisa menggunakan AWK.
3)
Wacana,
kebersamaan dan ideologi
Istilah wacana yang digunakan dalam Analisis Wacana
Kritis (AWK) dalam konteks ini bahwa wacana dimaknai sebagai
pernyataan-pernyataan yang tidak hanya mencerminkan atau merepresentasikan melainkan
juga menkonstruksi dan membentuk entitas dan relasi sosial. Kemudian, wacana dapat
diartikan sebagai sebuh medium bagi ideologi yang dapat memproduksi hubungan
kekuasaan antara kelompok dominan / mayoritas dengan tidak dominan / minoritas
dimana perbedaan tersebut di representasikan dalam praktik sosial. Dapat
disimpulkan bahwa ideologi ada dalam suatu wacana.
Cara melakukan kajian wacana dalam konteks ini dapat
menggunakan model 1) Analisis wacana kritis Norman Fairclough
yang mengacu kepada Dialectical Relational Approach / DRA
dan 2) AWK Sara Mills
(Feminist Stylistics Approach /
FSA). Norman Fairclough melihat
wacana dalam pemakaian
bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial, sedangkan Sara Mills lebih menekankan
pada bagaimana wanita ditampilkan dalam teks.
4)
Wacana dan
Praktek Budaya
Membahas mengenai wacana dan praktek budaya tentu
tidak akan lepas dengan masyarakat, dimana masyarakat mempunyai budaya
masing-masing baik dalam dialek, kebiasaan, bahasa, dsb. Kemudian dalam
mengkaji wacana dan praktek budaya diperlukan pengetahun. Hubungan antara
pengetahuan budaya dan wacana jelas terlihat yakni suatu pengetahuan budaya
yang spesifik dibutuhkan untuk memproduksi dan memahami dengan tepat suatu
wacana dari suatu komunitas masyarakat tertentu.
Dalam konteks wacana dan praktek budaya, makna
analisis wacana kritis dapat berupa; 1) Translation (mengemukakan
subtansi yang sama dengan media), 2) Interpretation (berpegang pada materi
yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar dapat dikemukakan konsep yang
lebih jelas),
3) Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk
menangkap hal dibalik yang tersajikan),
Dan, 4) Meaning (lebih
jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya pikir
dan akal budi). Ancangan kajian wacana yang dapat digunakan dalam
analisis wacan disini yakni kajian pragmatik, kajian teori etnografi
komunikasi, dan kebudayaan.
Dari
paparan 4 point diatas, dicoba mengimplementasi kedalam study kasus mengenai
pemberitaan yang sedang heboh di Indonesia, yakni pernyataan kontroversial
tokoh politik “Ahok”. Frase yang disoroti adalah “dibohongi Al Maidah 51”.
Frase tersebut termasuk kedalam point berapa? Apakah termasuk kedalam wacana
sebagai praktik sosial, wacana dan kekuasaan,
wacana, kebersamaan dan ideology, wacana dan praktek budaya
Dari
frase tersebut, tentu bahasa lisan dari penutur (Ahok) merupakan suatu wacana
yang berhubungan dengan situasi kondisinya. Pertama; dia sebagai gubernur,
kedua; sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Situasi saat diucapkan, yakni saat
melakukan kunjungan ke kabupaten kepulauan seribu dan berpidato didepan
masyarakat sebagai seorang Gubernur / tokoh politik. Mayoritas masyarakat saat
itu beragama Islam.
Wacana
dan kekuasaan merupakan jenis wacana yang cocok dengan posisi penutur saat
mengucapkan wacana tersebut, yakni sebagai gubernur maupun tokoh politik. Tokoh
politik “Ahok” mengakui bahwa ia bermaksud untuk memberitahu masyarakat agar
tidak terprovokasi oleh pihak yang
menggunakan dalil Al Quran atau mempolitisasi ayat-ayat suci, baik itu
Al-Quran, Alkitab, maupun kitab lainnya (Metrotvnews.com). Ia menggunakan
kekuatanya sebagai Gubernur/ tokoh politik untuk mempengaruhi masyarakat,
maupun sikap masyarakat terhadap suatu hal. Dalam hal ini mengacu kepada objek
dalam frasa yakni “Al Maidah 51”.
Hal
ini terlihat jelas bahwa bahasa sebagai alat
kekuasaan berbentuk persuasif yakni kekuasaan
itu berupa tindakan untuk mempengaruhi seseorang dalam hal kepercayaan, sikap
dan pengetahuan. Senada dengan
Fairclough (1989) yang menyatakan bahwa ada 3 hal yang mempengaruhi suatu
wacana disampaikan yakni setting (tempat dan waktu), subjek (siapa yang
berbicara), dan topik (isi dari apa yang disampaikan), sehingga wacana yang
dikeluarkan oleh tokoh politik “Ahok” juga berkaitan erat dengan faktor situasi,
konteks dan waktu.
Post a Comment
Post a Comment