Perkembangan industri film pendek semakin berkembang cepat. Sejumlah produsen film memproduksi film pendek dan mengunggahnya ke youtube dan media sosial lainnya. Film-film tersebut disajikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia digunakan oleh para tokoh dalam berdialog dan selanjutnya sebagai bahasa sumber (Bsu), sedangkan bahasa Inggris digunakan sebagai subtitle dan selanjutnya digunakan sebagai bahasa sasaran (Bsa). Dengan demikian, pononton dapat menonton dalam dua bahasa.
Ada dua jenis terjemahan film yakni dubbing dan subtitling (Boordwell & Thompson dalam Hastuti, 2011: 58). Kedua jenis penerjemahan ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Boordwell & Thompson dalam Hastuti (2011:58) mengatakan bahwa dubbing atau sulih suara adalah suatu proses menggantikan suara dalam suatu ‘soundtract’ untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang ada dan merekam kembali dialog tersebut. Sedangkan Gambier dalam Hastuti (2011:58) menyatakan bahwa subtitling adalah terjemahan dialog film yang di tuliskan di bagian bawah pada film tersebut. Seperti halnya sulih suara, tujuan ‘subtitling’ adalah membantu pemirsa untuk menikmati sebuah film, apakah itu film dokumenter atau cerita, drama, aksi, dan lain-lain.
Teguh (2014) mendefiniskan screen Translation (read more) atau biasanya disebut dengan subtitling, yakni penerjemahan ini mengolah data input berupa bahasa lisan yang diucapkan oleh tokoh dalam sebuah film drama, atau bentuk penyajian yang lain yang menjadi output berupa tulisan dan kemudian muncul dalam layar monitor.
Dalam suatu subtitling, penerjemah berhadapan dengan suatu fenomena unik yakni teks sumber adalah sebuah teks lisan yang didukung oleh setting tempat, ilustrasi musik, mimik tokoh dan sebagainya dan ia harus menerjemahkan teks lisan tersebut menjadi teks tulis. Dalam penerjemahan, makna suatu “teks” akan dipengaruhi oleh kontek situasi, sedangkan kontek situasi akan dipengaruhi oleh kontek budaya.
Menerjemahkan (read more about definition of translation) film, kontek situasi dan pemahaman lintas budaya merupakan bekal utama yang harus dimiliki oleh penerjemah dalam melakukan pekerjaanya sehingga ia akan mampu memilih strategi penerjemahan yang tepat. Hal ini senada dengan Newmark (1988) menyatakan bahwa teks yang diproduksi itu selalu melibatkan individu, budaya, dan univeral sebagai ciri bahasa, sehingga penerjemah dalam menerjemahkan harus memahami dan memiliki latar belakang mengenai Bahasa sasaran dan bahasa sumber.
Dalam proses penerjemahan perlu dilakukan penyesuaian dalam menentukan strategi, metode penerjemahan, dan sasaran penerjemahan. Tanjung (2015) menyebutkan bahwa teknik dalam penerjemahan terdiri atas adaptasi, ekuivalensi, transposisi, dan modulasi (read more about strategi penerjemahan). Kemudian Halliday dalam Newmark (1991) menyatakan tiga tahap yang berkaitan dengan penerjemahan, yaitu sebagai berikut:
- Kesetaraan atau kesepadanan tiap-tiap bagian yang ada dalam teks sumber dan teks sasaran,
- Peninjauan kembali baik dalam maupun di luar lingkup linguistik untuk mempertimbangkan situasi atau kondisi teks sumber dan teks sasaran,
- Peninjauan kembali dalam segi atau fitur-fitur gramatikal dan leksikal pada teks sasaran
Referensi:
Hastuti,
Endang Dwi, Nunun Tri Widarwati,
Giyatmi, dan Ratih Wijayava, 2011, Analisis
Terjemahan Film Inggris -
Indonesia: Studi Kasus Terjemahan Film
“Romeo And Juliet” (Kajian Tentang Strategi Penerjemahan), Seminar Hasil
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, LPPM Univet Bantara Sukoharjo,
57-66.
Teguh. (2014). Bentuk Equivalence and Translation Shift dalam Subtitle Drama Korea Daejangeum 鲵녚鞽 (Jewel in the Palace). Tesis, tidak dipublikasikan. Universitas Negeri Yogyakarta
Tanjung, Sufriati,. (2015). Penilaian Penerjemahan Jerman – Indonesia. Yogyakarta : Kanwa Publisher
Newmark,
P,. (1988). A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice hall.
Post a Comment
Post a Comment